Bagaimana menyikapi pandangan berhenti sholat jumat disituasi wabah corona

akhir-akhir ini banyak berbeda pandangan mengenai liburnya sholat jumat maupun kegiatan keagamaan yang lain pada situasi wabah corono seperti ini ada sebagian mengikuti fatwa mui untuk libur sholat jumat dahulu ada sebagaian berpandangan bahwa sholat jumat tidak mungkin digugurkan karena mereka menganggab Corona bukan Wabah-Tho'un seperti yang
beredar pada Taushiyah yang menyatakan bahwa virus Corona belum bisa disebut "wabah-tha'un", karena korbannya belum mencapai ribuan, tetapi baru mencapai ratusan. 
Atas dasar ini, tak ada alasan untuk menjadikan Corona sebagai alasan syar'i untuk meninggalkan salat Jumat,  jamaah apalagi menutup Umroh dan Haji.
Mereka berpandangan bahwa Fatwa al-Azhar,  Fatwa MUI dan juga LBM NU yang menyatakan boleh meninggalkan, bahkan wajib  meninggalkan Jum'at karena pandemi Corona adalah keliru.
Menurut pandangan Ahmad Husain Fahasbu dalam tulisannya kesimpulan ini tidak salah, karena ia dirumuskan dari logika (mantik) yang secara formil benar yaitu bahwa sholat jumat gugur karena uzur syar'i lalu wabah Corona bukan udzur syar'i maka corona tidak mengugurkan Jum'at.

Namun logika manthiqi bisa salah dalam perumusan kesimpulan, jika premis-premisnya tidak ditashawwur dan tashdiq secara benar.
Misalnya premis yg menyatakan bahwa "corona bukan uzur syar'i" lalu atas dasar apa corona ditashdiq bukan uzur syar'i? 
Menurutnya, karena bukan wabah. Mengapa bukan wabah? Karena korbannya sedikit.
Berarti untuk menyebut Corona sebagai wabah harus menelan korban ribuan atau puluhan ribu korban dulu. Setelah menelan korban ribuan atau puluhan ribu, baru disebut wabah dan baru bisa sebagai alasan syar'i menggugurkan kewajiban tertentu.

Disinilah, orang bisa meleset karena tashawwur dan tashdiqnya meleset. Pertanyaannya? Apakah untuk menyebut Corona sebagai wabah harus membunuh ribuan orang dulu? 
Apa tidak cukup dengan adanya potensi membunuh puluhan ribu orang sudah bisa disebut mewabah?

Perdebatan ini dalam tradisi fikih sesungguhnya sudah jamak terjadi. Misalnya dalam kasus Minuman Khamer yg memabukkan. Khamer adalah haram karena memabukkan. Apakah untuk membuktikan memabukkan harus minum khamer dulu?
Setelah benar benar mabuk (bil fi'li) baru haram? Apakah cukup "dengan adanya potensi memabukkan (bil quwwah) " berdasar tajribah (pengalaman) dan kajian ilmiyah bahwa khamer memabukkan?
Menurut kitab kitab Fiqih, untuk menyatakan bahwa khamer memabukkan dan karenanya haram tidak perlu dibuktikan dengan meminum dulu,  terus mabuk, terus haram. Tetapi cukup "dengan adanya potensi memabukkan" berdasar pengalaman dan kajian ilmiah oleh ahlinya,  khamer Haram.

Kalau didekatkan dengan virus corona, untuk menyatakan bahwa corona adalah wabah, pandemi di Indonesia tidak perlu menunggu ia mebunuh puluhan ribu orang, melainkan cukup dengan "adanya potensi membunuh".

Berdasar pengalaman di berbagai negara dan kajian ilmiah dari ahlinya (medis),  jika tidak dicegah dan diantisipsi sejak awal potensi membunuh ribuan maupun jutaan bisa terjadi.
Jadi cukup data tersebut bisa menjadi rujukan bahwa hukum untuk wabah corona Tho'un.

Jadi putusan MUI,  LBM NU, sudah tepat secara Fiqih. Kalian bisa mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaram ijtihad dalam menyikapi wabah corona sesuai anjuran para ulama.

Post a Comment

add your massage to every single people do comment here!

Previous Post Next Post